Tranformasi Relawan Pada Masa Pemerintahan Jokowi

Jecklin Midiyato Saragih

*Mahasiswa Magister Ilmu Politik, Universitas Diponegoro, Indonesia

Correspondence: jecklinmsaragih@gmail.com

Fenomena relawan politik sebagai bentuk demokrasi partisipatoris dalam kontestasi Presidensial 2014 dianggap sebagai wujud bahwa kemenangan Jokowi-JK adalah kemenangan rakyat Indonesia. Fenomena ini memiliki efek dan pengaruh yang signifikan terhadap kontestasi Presidensial di Indonesia, terutama pada Pemilihan Presiden Tahun 2014 dan 2019. Relawan politik yang awalnya hanya sebagai kelompok masyarakat yang tergerak untuk mendukung Partai Politik atau bakal calon yang dipandang bisa menyuarakan aspirasi masyarakat, kemudian berbalik menjadi kekuatan politik baru. Kemunculan relawan politik sebagai kekuatan politik baru berimplikasi terhadap Partai Politik sebagai lembaga yang memiliki legitimasi formal untuk memperebutkan kekuasaan dan mengisi jabatan politik.

Puncak popularitas relawan politik terjadi pada Pilpres tahun 2014, peran relawan Jokowi berhasil mengantarkan pasangan Jokowi-JK sebagai pemenang Pilpres 2014. Namun, kehadiran relawan politik pada kontestasi presidensial 2014 berbeda dengan sejarah awal kelahiran voluntarisme tersebut. Sebab relawan politik pada kontestasi presidensial 2014 bukan bagian dari anggota Partai Politik. Para relawan hadir bukan karena daya tarik pada salah satu Partai Politik, melainkan kepada politik nilai yang ingin diperjuangkan melampaui kepentingan Partai Politik.

Penempatan elit relawan politik pada jabatan tertentu seperti Komisaris di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) hingga jabatan Menteri dapat menjelaskan bahwa relawan politik hari ini berperan sebagai pijakan untuk mengisi jabatan politik, layaknya tujuan sebuah Partai Politik. Hal ini dapat dilihat pasca pilpres 2014, beberapa nama yang dianggap memiliki peran penting dalam pemenangan pasangan Joko Widodo Jusuf Kalla (Jokowi-JK) mendapatkan jabatan di Badan Usaha Milik Negara (BUMN), diantaranya :

TABEL 1.2 Elit Relawan Jokowi-JK di Kursi BUMN

NoNamaLatar BelakangPosisi
1Revrisond BaswirTim Cemara 19Komisaris BNI
2Nick NurrachmanTim Cemara 19Komisaris Independen WIKA
3Sonny KerafTim Cemara 19Komisaris Independen BRI
4Cahaya Dwi RembulanProjoKomisaris Independen Bank Mandiri
5Hilmar FaridSeknas JokowiKomisaris Independen Krakatau Steel
6Margiyono Darsa SumajaSeknas JokowiKomisaris Independen Telkom
7Roy E. ManingkasBara JPKomisaris Krakatau Steel
8Sony SubrataJasmevKomisaris Semen Indonesia

Sumber : Olahan data peneliti, 2024

Tidak berhenti pada posisi Komisaris BUMN, pasca Pilpres 2019 elit relawan politik Pro-Jo berhasil duduk di kursi Kabinet Indonesia Maju yang di pimpin oleh Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin. Pada tanggal 25 Oktober 2019 melalui Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 72/M Tahun 2019 tentang Pengangkatan Wakil Menteri Negara Kabinet Indonesia Maju Periode Tahun 2019-2024 ketua umum Pro-Jo Budi Arie Setiadi dilantik sebagai Wakil Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi.

Pada reshuffle atau perombakan Kabinet Indonesia Maju pada 17 Juli 2023 dua elit relawan politik kembali mendapatkan posisi, dimana Budie Arie Setiadi yang semula menjabat sebagai Wakil Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi resmi menjabat sebagai Menteri Komunikasi dan Informatika menggantikan Johny G Plate dari Partai Nasdem yang menjadi tersangka kasus korupsi pengadaan BTS 4G. Elit relawan politik lain yakni Paiman Raharjo yang merupakan ketua umum Relawan Sedulur Jokowi juga mendapatkan posisi sebagai Wakil Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi menggantikan Budi Arie Setiadi ketua umum Pro-Jo.

Relawan politik sejatinya memiliki tugas utama meneliti sebab-akibat dari kinerja kebijakan dan program publik, sehingga relawan politik dapat terus mengawal apakah suatu kebijakan publik yang dibuat berdasarkan pertimbangan yang matang atau hanya diputuskan sepihak untuk memenuhi kepentingan politik. Hal ini dapat dilakukan dengan tetap berada pada posisi ektrsa-parlementer sebagai pengawas dan penyeimbang. Apabila relawan politik memiliki peran ganda sebagai intra-parlementer dan sekaligus ektra-parlementer akan menjadi problematika di masa yang akan datang, karena pada hakikatnya peran relawan politik adalah pengawal suara rakyat.

Pada awalnya Jokowi berusaha untuk menghindari politik transaksional, namun masalah itu tidak dapat dihindari. Akibatnya, pertama, Jokowi memperpanjang budaya politik balas jasa yang selalu dilakukan oleh Presiden sebelumnya. Dengan kata lain, Jokowi belum bisa keluar dari perangkap politik balas jasa. Kedua, akibat lemahnya posisi Jokowi, maka Jokowi seperti tersandera oleh perangkap kelompok oligarki yang mendukungnya untuk menjadi Presiden. Ketiga, Jokowi menjadi mudah dimobilisasi terutama oleh kepentingan Partai Politik, relawan, dan elit tertentu (Agustino, 2015).

Kegiatan kesukarelawanan dalam konteks politik elektoral sejatinya sangat mudah tergelincir kedalam kepentingan pragmatis, fakta yang terungkap bahwa agenda relawan politik dalam gerakan kesukarelawanan hanya berhenti pada aktivitas relawan politik sebelum dan pada saat kontestasi presidensial, aktivitas relawan politik sesudah kontestasi presidensial hanya menjadikan relawan politik sebagai alat elit politik untuk mencapai kepentingannya.

Harus diakui bahwa nilai-nilai kesukarelawanan tidak sepenuhnya hilang dalam konteks gerakan relawan politik. Fenomena relawan politik pada Pemilihan Presiden Tahun 2014 dan 2019 kiranya mampu dijadikan sebuah contoh bahwa dalam memandang dan memposisikan voluntarisme politik tidak sama halnya dengan voluntarisme dibidang sosial. Kegiatan sukarela menjadi bias dan sulit dipisahkan. Oleh karena itu, tulisan ini menyuguhkan sebuah gagasan lain tentang voluntarisme. Tulisan ini menggambarkan bagaimana sisi lain dari kegiatan kesukarelawanan dalam dunia elektoral, yang secara keseluruhan tidak bergerak atas wujud partisipasi yang otonom dengan didasarkan pada pengakuan kedaulatan sebagai warga Negara.

Berita Terkait