SEMARANG – Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mengungkap pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dialami para buruh pabrik di Jawa Tengah menjadi korban UU Cipta Kerja atau Omnibus Law. Sebab, pemerintah dalam melaksanaan UU Omnibus Law tidak memiliki dampak yang nyata bagi keberlangsungan industri.
“PHK ini ada tarikannya dalam Ciptaker. Izin fairing izin hairing itu mempermudah PHK. Yang terjadi di Jateng itu dampak pertama dari Ombinbus Law. Tapi pemprov tidak mau mengakui fakta itu. Padahal pemberlakuan Omnibus Law itu yang pertama kena dampaknya di Jateng. Karena upahnya paling rendah,” kata Sekretaris KSPI Jawa Tengah, Aulia Hakim, Selasa (25/6).
Dalam waktu dekat, pihaknya akan menyelidiki apakah para bupati dan walikota se-Jateng berani menolak investor yang berniat mengangkat pegawai outsourcing. Sebab, ada dugaan banyaknya aksi PHK massal ini disebabkan adanya pelaksanaan UU Omnibus Law tidak ada manfaatnya.
“PHK ini jadi antitesis karena pada saat Indonesia menarik investor, Jateng jadi tujuan investasi terbesar kenyatannya tidak sinkron dengan situasi saat ini. Ciptaker yang dianggap bisa menarik investasi cuma omong kosong,” ungkapnya.
Aliansi buruh sebenarnya tidak pernah menolak masuknya investasi ke Jawa Tengah. Karena tak bisa dipungkiri bahwa masuknya investasi akan memberi dampak penyerapan tenaga kerja di sejumlah daerah.
“Kami tidak menolak investasi karena bisa menyerap tenaga kerja. Tapi fakta di lapangan menyebutkan investasi ini malah menyebabkan upahnya kecil. Jangan sampai nantinya Jateng gembar gembor investasi masuk nyatanya Jateng terjadi PHK besar-besaran. Bisa saja potensi investasi yang masuk ke Jateng mengejar orientasinya upah rendah dan tidak ada jaminan keberlanjutan bagi pekerja,” jelasnya.
Namun, dia menyayangkan keputusan investor untuk menanamkan modalnya ke Jawa Tengah semata hanya untuk mengincar pemberian upah yang minim.
“Pemprov Jawa Tengah seakan-akan ketakutan dengan fakta PHK ini. Karena banyaknya status pekerja lepas. Maka dari itu semestinya aturan ini harus dievaluasi, jangan ditutupi kalau ada PHK,” ujarnya.
Sementara, Pj Gubernur Jawa Tengah Nana Sudjana mengaku mendengar kasus PHK massal di pabrik tekstil supaya jangan dibesar-besarkan. “Kami itu, terkait masalah PT Sai Apparel ya, kadang-kadang di berita itu (PHK) terlalu dibesar-besarkan ini,” kata dia.
Disnakertrans dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan sudah mengecek kondisi PHK massal yang dilakukan oleh Sai Apparel. Alasan PHK oleh Sai Apparel ialah relokasi pabrik.
“Ada relokasi dari Semarang ke Grobogan. Memang jumlah karyawannya 8.000 sampai saat ini yang kita cek. Di Grobogan sekitar 5.000. Mereka mengajak bekerja ke PT yang baru,” ujarnya.
Dia berani menjamin bahwa Pemprov Jawa Tengah akan mengantisipasi agar tak lagi ada PHK massal ke depannya. Sebab,
PHK yang terjadi karena adanya faktor global. “Memang di tempat lain demikian, PHK terjadi. Disebabkan karena faktor global. Misalnya konflik perdagangan Amerika-Cina, dampaknya ke Indonesia juga,” tutupnya.