SEMARANG (lensasemarang.com) – Dokter Forensik Rumah Sakit (RS) Bhayangkara Bandarlampung, Dokter Andryani, menyatakan bahwa penentuan kasus sebagai tindakan bunuh diri harus ditetapkan oleh penyidik kepolisian yang melalui proses panjang dan didukung bukti.
Menurut dia, suatu kematian disebut dengan bunuh diri harus didukung dengan bukti dan harus melalui proses, serta tindakan kepolisian.
“Penentuan bunuh diri bukan oleh wartawan atau desas desus, tapi oleh penyidik Polri setelah dilakukan proses sidik-lidik sesuai peraturan perundangan. Perlu juga dicari adanya niat untuk bunuh diri,” katanya, Selasa (27/8/2024).
Hal tersebut disampaikan Andryani pada diskusi daring bertajuk “Benarkah Kasus PPDS FK Undip Didekati Secara Subjektif dan Unprofessional” untuk menanggapi kasus meninggalnya mahasiswi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Fakultas Kedokteran Undip, Dokter Aulia Risma Lestari.
Sementara itu, Ketua Komite Pusat Solidaritas Penyelamat Citra Profesi (KPSPCP), Dokter Daeng Mohammad Faqih mengatakan bahwa peristiwa meninggalnya Dokter Aulia harus direspons secara serius dan hati-hati.
Hal itu dilakukan sebagai usaha menjaga citra profesi kedokteran, Daeng menegaskan bahwa peristiwa yang menyebabkan wafatnya mahasiswi PPDS Anestesi FK Undip ini menjadi kasus yang harus serius ditanganin.
“Bagi keluarga korban pasti ini menimbulkan kesedihan mendalam dan kemarahan. Bagi masyarakat secara umum, pasti akan menimbulkan kemarahan dan kutukan kepada siapa saja yang menyebabkan hilangnya nyawa,” ujarnya.
Daeng yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Pengurus Besar (PB) IDI periode 2018-2021 itu menjelaskan bahwa persoalan tersebut harus ditangani secara serius dan hati-hati, serta jangan sampai direspons melebihi ranah kedokteran. Namun, perlu diingat, dalam merespons dalam bentuk pernyataan, keputusan maupun tindakan harus disampaikan secara hati-hati dan jangan sampai melebihi dari ranah hukum yang bukan menjadi areal profesi sebagai dokter.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Guru Besar Universitas Airlangga Djohansjah Marzoeki yang menggambarkan kalau kasus yang dialami di FK Undip sebagai bentuk premanisme birokrasi. Penutupan program studi PPDS anestesi di Jateng, menurutnya, sebagai keputusan keliru yang diambil oleh pihak Kementerian Kesehatan.
“Mungkin itu salah bahasa, tapi kenyataan tertulisnya kan demikian. Harus ada penjelasan, kenapa kok ditutup padahal itu prodi dari Undip,” ujarnya.