SEMARANG (lensasemarang.com) – Kantor Wilayah Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Provinsi Jawa Tengah melakukan percepatan digitalisasi pelayanan sebagai upaya mengantisipasi terjadinya berbagai praktik kecurangan serta pelanggaran oleh petugas pembuat akta tanah (PPAT).
“Untuk mencegah pelanggaran tersebut berulang, kami melakukan percepatan digitalisasi layanan di kantor pertanahan,” kata Kepala Kanwil ATR/BPN Provinsi Jateng Dwi Purnama di Semarang, Kamis (12/9/2024).
Menurut dia, layanan digital akan mencegah pertemuan langsung antara petugas yang melayani dan masyarakat yang dilayani.
“Sehingga timbulkan, dalam tanda petik, sering terjadi pertanyaan terkait biaya-biaya. Dengan layanan elektronik (digitalisasi) maka akan mencegah hal itu,” ujarnya usai menerima Kunjungan Kerja Komisi II DPR RI di Kanwil ATR/BPN Provinsi Jateng.
Pihaknya mencatat ada 47 orang PPAT yang dijatuhi sanksi karena melakukan pelanggaran yang beragam dengan rincian 36 PPAT mendapatkan teguran ringan karena melakukan pelanggaran administrasi, sembilan PPAT melakukan pelanggaran sedang diberhentikan sementara dan maksimal satu tahun.
Kemudian, dua PPAT melakukan pelanggaran berat dan saat ini diusulkan Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) ke Kementerian ATR/BPN.
“Pelanggaran yang dilakukan PPAT beragam. Sanksi sudah diberikan,” katanya.
Hadir di kegiatan tersebut Wakil Ketua Komisi II DPR RI Junimart Girsang dan anggota. Hadir pula Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota di Jateng.
Selain perihal layanan PPAT, dalam kunjungan kerja tersebut juga diungkapkan perihal pemanfaatan tanah milik PT KAI juga disinggung.
Wakil Ketua Komisi II DPR RI Junimart Girsang menyebut kantor pertanahan di kabupaten/kota maupun provinsi sudah bekerja sesuai target untuk PTSL, namun kendala yang dihadapi justru dari masyarakat yang terkadang enggan tanahnya disertifikatkan.
“Masyarakat di daerah berpikir soal pajak. Nah ini menjadi beban kerja baru bagi BPN agar terus mensosialisasikan bahwa sertifikat tanah memiliki banyak manfaat. Bahkan bisa dipakai untuk tambahan modal usaha,” ujarnya.
Persoalan lainya adalah adanya kekurangan jumlah juru ukur di ATR/BPN yang mengganggu tugas untuk percepatan penyelesaian sertifikasi sehingga dirinya meminta Kementerian ATR/BPN juga memikirkan tentang hal ini.
Persoalan selanjutnya adalah pemahaman aspek hukum untuk penanganan yang berkaitan dengan sertifikasi pertanahan agar tidak membuat pegawai ketakutan.