Site icon Lensa Semarang

Zero ODOL: Hegemoni Jalan Raya yang Tak Ramai Didebatkan

Ditulis oleh Mahasiswa DIK Universitas Sahid, Edi Nurwahyu Julianto

Beberapa tahun terakhir, pemerintah gencar menggulirkan kebijakan Zero ODOL—yakni larangan kendaraan angkutan barang yang dimensinya melebihi ketentuan dan bermuatan berlebih (Over Dimension Over Loading). Di atas kertas, kebijakan ini terdengar ideal. Jalan jadi lebih awet, kecelakaan menurun, distribusi logistik jadi lebih tertib. Tapi jika dikihat dari kacamata kritis, khususnya dari teori hegemoni Antonio Gramsci, narasi ini ternyata menyimpan dominasi yang dibungkus seolah-olah sebagai kepentingan bersama.

Gramsci mengatakan, kekuasaan tak selalu bekerja lewat represi, tapi lewat konsensus yang diproduksi oleh elite dan diterima tanpa sadar oleh publik. Artinya, sesuatu bisa tampak “benar” dan “masuk akal” bukan karena itu netral, tapi karena dibingkai secara ideologis oleh mereka yang memegang kuasa—baik kuasa politik, ekonomi, maupun media.

Inilah yang sedang terjadi pada narasi Zero ODOL. Narasi utama yang kita dengar di media adalah: truk ODOL merusak jalan, membahayakan nyawa pengguna jalan, dan menimbulkan kerugian negara.

“Tapi jarang sekali kita diajak melihat akar masalah. Kenapa banyak sopir atau pengusaha kecil tetap memakai truk ODOL? Apakah mereka sengaja melanggar aturan, ataukah sistem logistik nasional memang menuntut mereka untuk begitu?” ujarnya.

Realitanya, sistem logistik kita masih banyak ketimpangan. Banyak perusahaan besar hanya mau membayar ongkos angkut murah, sehingga sopir dan pengusaha kecil harus mengangkut lebih banyak demi bisa untung. Di sisi lain, pengawasan juga sering tidak adil. Truk-truk kecil kena tilang, sementara armada milik pemain besar bisa lewat begitu saja.

Dalam situasi ini, narasi Zero ODOL menjadi alat hegemonik: ia membingkai persoalan sistemik sebagai kesalahan individu, lalu menuntut mereka patuh atas nama “kepentingan umum”.

Yang menarik, mayoritas masyarakat tampaknya menerima begitu saja kebijakan ini. Inilah bentuk hegemoni yang dimaksud Gramsci—ketika kelas bawah ikut menyetujui aturan yang justru menyulitkan mereka, karena narasi yang dominan membuat mereka percaya bahwa itulah yang terbaik untuk semua.

Kita tidak diajak berpikir kritis soal struktur, tapi didorong untuk tunduk pada aturan yang telah diputuskan “dari atas”.
Padahal, jika kita tarik ke belakang, para sopir dan pemilik angkutan kecil jarang dilibatkan secara bermakna dalam proses penyusunan kebijakan ini. Yang dilibatkan lebih banyak adalah asosiasi logistik besar, pengusaha besar, dan kementerian teknis.

Prosesnya elitis dan teknokratis. Dalam bingkai Gramsci, ini adalah bentuk dari dominasi ideologi: kelompok dominan mampu menentukan apa yang boleh dibicarakan, siapa yang boleh bicara, dan bagaimana publik harus memahami persoalan.

Lalu apa yang bisa dilakukan?
Pertama, kita perlu membuka ulang ruang dialog yang partisipatif, bukan hanya dalam bentuk sosialisasi top-down, tapi forum deliberatif yang benar-benar melibatkan sopir, koperasi angkutan, dan buruh logistik. Jika negara memang serius ingin menciptakan sistem angkutan yang aman dan berkeadilan, maka semua aktor—termasuk yang kecil—harus duduk setara.

Kedua, harus ada kebijakan transisi yang berpihak pada kelompok rentan. Misalnya insentif peremajaan armada, relaksasi aturan dengan batas waktu yang jelas, atau skema subsidi konversi truk. Jangan sampai Zero ODOL hanya jadi “pembersih jalan” dari pemain kecil, sementara pemain besar tetap melenggang dengan kekuatan modal.

Ketiga, kita sebagai masyarakat juga perlu lebih kritis terhadap narasi dominan. Jangan cepat percaya pada istilah “efisiensi” atau “keselamatan” tanpa bertanya: efisien bagi siapa? aman untuk siapa? dan siapa yang menanggung bebannya?

Akhir kata, jalan raya memang harus dijaga. Tapi jangan sampai atas nama menjaga aspal, kita malah melindas nasib orang kecil. Karena ketika kebijakan publik hanya berpihak pada yang kuat, dan narasi dibentuk oleh yang berkuasa, maka itulah saatnya kita curiga: apakah ini aturan yang adil, atau hanya bentuk lain dari hegemoni yang bekerja diam-diam?

Exit mobile version