Ditulis oleh Mahasiswa DIK Universitas Sahid, Edi Nurwahyu Julianto
Baru-baru ini, wacana untuk mengembalikan pemilihan kepala daerah oleh DPRD kembali ramai dibicarakan. Salah satu pengusungnya adalah Wakil Ketua MPR RI, Ahmad Muzani, yang menyebut bahwa sistem pemilihan langsung dianggap boros, penuh polarisasi, dan terlalu banyak menimbulkan gesekan sosial.
Ia menyarankan agar kita mempertimbangkan lagi pemilihan kepala daerah melalui DPRD seperti masa lalu. Sekilas, argumen ini terdengar logis. Tapi jika dicermati lebih dalam, ini adalah bentuk mundurnya demokrasi yang sedang–dengan susah payah–kita bangun selama dua dekade terakhir.
Dalam dunia komunikasi, ada satu teori penting yang bisa membantu kita memahami situasi ini: teori komunikasi kritis, khususnya gagasan ruang publik (public sphere) dari Jürgen Habermas.
Habermas percaya bahwa demokrasi yang sehat itu lahir dari ruang publik yang bebas dan terbuka, tempat warga negara bisa saling berdiskusi secara rasional, setara, dan tanpa tekanan dari negara atau pasar.
Nah, ketika hak memilih itu dicabut dan diserahkan ke DPRD, kita sebenarnya sedang menutup ruang publik itu—menjadikannya eksklusif dan hanya bisa diakses oleh segelintir elite politik. Demokrasi berubah dari pesta rakyat menjadi pesta partai.
Mari kita jujur. Pemilihan oleh DPRD bukan cuma soal “hemat anggaran”. Kita semua tahu DPRD bukanlah institusi paling bersih di negeri ini. Menurut laporan Indonesia Corruption Watch (ICW), masa-masa ketika kepala daerah dipilih oleh DPRD (sebelum 2005), justru jadi ladang subur praktik suap dan transaksi politik.
Siapa yang punya uang, dia yang naik. Bukan karena kompetensi, apalagi karena amanah rakyat. Sistem ini bukan cuma membuka peluang korupsi, tapi juga menutup pintu partisipasi publik secara langsung. Warga hanya bisa menonton dari luar pagar, tanpa punya suara atas siapa yang akan memimpin mereka.
Yang lebih mengkhawatirkan lagi, Survei LSI tahun 2023 menunjukkan hanya 35 persen masyarakat yang percaya DPRD bisa memilih pemimpin daerah secara jujur dan adil. Jadi kalau kepercayaan publik saja sudah rendah, lalu mengapa kita ingin menyerahkan nasib demokrasi lokal pada lembaga yang justru tidak dipercaya publik?
Bila pemilihan oleh DPRD benar-benar diterapkan lagi, setidaknya ada empat risiko besar yang harus kita waspadai. Pertama, terputusnya hubungan langsung antara rakyat dan pemimpin. Kepala daerah tak lagi merasa berutang budi kepada rakyat, tapi kepada partai.
Kedua, meningkatnya potensi politik uang, karena kursi bisa diperjualbelikan di ruang tertutup. Ketiga, turunnya kepercayaan publik terhadap sistem politik, karena rakyat tak lagi punya peran dalam menentukan masa depan daerahnya.
Dan keempat, kuatnya cengkeraman oligarki partai, karena semua akses menuju kekuasaan hanya bisa ditempuh lewat jalur elite. Dalam situasi ini, kita perlu kembali pada prinsip awal demokrasi: rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi.
Kalau yang dikritik adalah mahalnya biaya kampanye dan maraknya politik identitas, solusinya bukan mencabut hak pilih rakyat. Solusinya adalah reformasi partai politik, pengawasan yang ketat terhadap pendanaan kampanye, serta edukasi politik kepada masyarakat. Kita juga bisa mendorong adanya sistem pemilu yang lebih adil, transparan, dan mengurangi ketergantungan calon kepala daerah pada sponsor politik.
Logika Habermas masih relevan hingga hari ini. Dalam ruang publik yang sehat, wacana politik harus dibentuk lewat argumentasi, bukan dominasi. Sayangnya, wacana “kembali ke DPRD” justru hadir sebagai bentuk distorsi komunikasi publik.
Elite berbicara atas nama rakyat, padahal sejatinya sedang menyelamatkan kepentingan kelompok mereka sendiri. Ini adalah bentuk “komunikasi patologis”, istilah yang digunakan Habermas untuk menggambarkan situasi ketika ruang diskusi dikuasai oleh logika kekuasaan, bukan akal sehat.
Kita sedang diuji: apakah demokrasi di Indonesia hanya sekadar ritual lima tahunan, ataukah ia sungguh-sungguh menjamin partisipasi publik dalam menentukan nasib bersama? Jika kita ingin membangun masa depan demokrasi yang sehat, maka suara rakyat harus dirawat, bukan dicabut. Membenahi sistem yang cacat jauh lebih terhormat daripada menyerah pada kenyamanan sistem lama yang penuh borok.
Demokrasi memang mahal. Tapi menyerahkannya kembali ke tangan segelintir elite akan jauh lebih mahal biayanya: ketidakpercayaan, ketimpangan, dan kehilangan harapan. Maka sebelum semua itu terjadi, mari kita pertahankan ruang publik yang bebas, terbuka, dan partisipatif—karena dari situlah demokrasi bisa terus tumbuh, dan rakyat tetap punya suara.
