Potensi Konflik Struktural di Balik Kemitraan Sawit

Oleh: Erdiana Afifah, Mahasiswi Magister Ilmu Politik Universitas Diponegoro

SEMARANG (lensasemarang.com) – Kabupaten Lamandau di Kalimantan Tengah adalah salah satu wilayah yang mengalami pertumbuhan pesat perkebunan kelapa sawit dalam dua dekade terakhir.

Di wilayah ini, program kemitraan antara perusahaan dan masyarakat diperkenalkan sebagai jalan tengah antara meningkatkan ekonomi korporasi dan kesejahteraan petani.

Model inti-plasma dianggap mampu menciptakan hubungan saling menguntungkan: perusahaan menyediakan modal, bibit, dan teknologi, sementara masyarakat menyediakan lahan dan tenaga kerja.

Namun, realitas di lapangan tidak selalu berjalan dengan mulus serta mengakibatkan skema kemitraan yang semestinya membangun kemandirian ekonomi desa justru melahirkan ketergantungan baru.

Dalam struktur kemitraan, perusahaan inti memegang kendali penuh atas harga tandan buah segar, jadwal panen, hingga pengelolaan dana plasma. Ketika posisi tawar masyarakat lemah dan koperasi tidak memiliki kapasitas manajerial yang memadai, maka prinsip diharapkan adanya saling menguntungkan.

Situasi tersebut mencerminkan apa yang disebut Ralf Dahrendorf sebagai konflik struktural, yaitu pertentangan yang bersumber dari ketimpangan distribusi kekuasaan dalam sistem sosial.

Menurut Dahrendorf, dalam setiap struktur sosial selalu ada dua kelompok: pihak yang berotoritas dan pihak yang berada di bawah otoritas. Ketika satu kelompok mendominasi pengambilan keputusan dan penguasaan sumber daya, konflik menjadi hal yang tidak terelakan.

Penelitian Afifah (2025) memperlihatkan adanya kelompok dominan karena pemegang kendali modal, teknologi, dan jaringan pasar. Sebaliknya, masyarakat plasma bergantung pada kebijakan perusahaan untuk menentukan harga jual dan pembagian keuntungan. Ketika sistem ini berjalan tanpa mekanisme kontrol yang transparan, potensi konflik akan terus muncul, meski sering kali tersembunyi.

Konflik di Kabupaten Lamandau sebagian besar bersifat laten. Ia tidak selalu tampil dalam bentuk demonstrasi atau bentrokan, melainkan dalam bentuk ketidakpercayaan, kekecewaan, dan apatisme terhadap kebijakan kemitraan. 

Masyarakat tahu bahwa posisi mereka lemah, namun tidak memiliki ruang negosiasi untuk memperbaiki keadaan. Dalam teori Dahrendorf, kondisi seperti ini menciptakan stabilitas semu tenang di permukaan, tetapi penuh tekanan di dalamnya.

Ketimpangan dalam kemitraan kelapa sawit bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga persoalan sosial dan politik. Di Kabupaten Lamandau, konflik sering kali meluas ke dalam komunitas. Ada perpecahan antara kelompok masyarakat yang mendukung perusahaan karena alasan pragmatis dan kelompok yang menuntut keadilan pembagian hasil. Ketegangan juga muncul antara masyarakat lokal dan pendatang yang berebut kesempatan ekonomi dari lahan plasma.

Akibatnya, solidaritas sosial yang dulu kuat di desa-desa mulai tergerus. Masyarakat tidak lagi melihat kemitraan sebagai simbol kerja sama, melainkan sumber konflik dan ketidakpastian. 

Dalam banyak kasus, hubungan sosial retak karena ketimpangan manfaat ekonomi dan perbedaan akses informasi. Fenomena ini memperlihatkan bahwa ketidakadilan ekonomi selalu membawa konsekuensi sosial yang mendalam.

Secara normatif, kemitraan inti-plasma diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 98 Tahun 2013 tentang pedoman perizinan dan kemitraan perkebunan. Regulasi tersebut menegaskan bahwa kemitraan harus didasarkan pada prinsip kesetaraan, keterbukaan, dan tanggung jawab bersama. Namun dalam praktik pelaksanaannya masih jauh dari harapan.

Adanya perjanjian kemitraan tidak disosialisasikan secara terbuka kepada anggota koperasi. Beberapa koperasi hanya berfungsi administrative mengumpulkan hasil panen dan menyalurkan pembayaran tanpa kapasitas untuk menegosiasikan kebijakan harga atau meninjau kontrak. Pemerintah daerah sebenarnya memiliki peran penting dalam memastikan hubungan kemitraan berjalan adil. 

Namun dalam praktiknya, pengawasan terhadap perusahaan sering kali lemah. Dinas terkait lebih banyak berfokus pada urusan perizinan dan produksi, bukan penguatan kelembagaan atau perlindungan sosial ekonomi masyarakat.

Menurut laporan BRIN tahun 2022, dari lebih 1.000 kebun plasma di Indonesia, hanya sekitar 35 persen yang beroperasi sesuai dengan pedoman kemitraan pemerintah. Artinya, mayoritas kemitraan masih belum memenuhi prinsip keadilan dan transparansi.

Di Lamandau, fenomena ini tergambar jelas dalam berbagai temuan lapangan dalam berbagai keluhan masyarakat tentang keterlambatan hasil, tumpang tindih lahan, dan ketidakjelasan kontrak.

Meski berbagai konflik dan ketimpangan terus terjadi, Masyarakat mulai menunjukkan kesadaran baru terhadap hak mereka. Diskusi di tingkat desa, pertemuan koperasi, dan pendampingan dari kelompok masyarakat sipil menjadi titik awal perubahan. Kesadaran ini penting, karena tanpa pemahaman terhadap akar struktural masalah, konflik hanya akan berhenti di balik stabilitas.

Konflik bisa menjadi katalis perubahan sosial jika diarahkan pada pembenahan struktur yang timpang. Sebagaimana terjadi di Kabupaten Lamandau, konflik kemitraan bisa menjadi momentum untuk menata ulang hubungan antara perusahaan, koperasi, dan masyarakat agar lebih adil dan transparan.

Ke depan, kemitraan sawit di Kabupaten Lamandau harus diarahkan pada tiga aspek penting: transparansi, partisipasi, dan pemberdayaan kelembagaan. Konflik kemitraan sawit di Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah, mencerminkan dinamika klasik antara kekuasaan dan keadilan dalam masyarakat modern.

Ketimpangan bukan hanya terjadi karena niat buruk individu, tetapi karena struktur sosial-ekonomi yang tidak seimbang. Keadilan sosial bukanlah hasil akhir dari kebijakan, melainkan proses panjang yang menuntut keberanian dan kesadaran kolektif.

Ketika masyarakat berani menuntut transparansi, pemerintah berani bertindak tegas, dan perusahaan berani membuka diri terhadap perubahan, maka cita-cita kemitraan yang berkeadilan tidak lagi menjadi ideal yang sulit diwujudkan.

Referensi

BRIN (2022). Kajian Pola Kemitraan Perkebunan Sawit di Indonesia.

Dahrendorf, R. (1959). Class and Class Conflict in Industrial Society. Stanford University Press.

Dinas Perkebunan Kalimantan Tengah (2023). Laporan Tahunan Sektor Perkebunan.

Forest Watch Indonesia (2021). Tinjauan Tata Kelola Sawit dan Konflik Agraria.

Kompas & Mongabay (2022–2024). Laporan Khusus Konflik Sawit dan Kemitraan di Kalimantan

Thesis

Erdiana Afifah (2025). Potensi Konflik Pola Kemitraan Pada Program Inti Plasma Kelapa Sawit Kecamatan Menthobi Raya Kabupaten Lamandau Provinsi Kalimantan Tengah. Tesis Magister Ilmu Politik, Universitas Diponegoro.

Berita Terkait